SIDOARJO, www.jejakkasus.info
- Beberapa kasus yang sedang marak di Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa
Timur, agaknya dibiarkan begitu saja oleh aparat penegak hukum setempat.
Kepala Polsek (Kapolsek) Krian, seolah cuek serta lakukan pembiaran terhadap
kasus yang merugikan masyarakat, Hasil investigasi Jejak Kasus mendapati
setidaknya ada dua kasus yang sedang marak di kecamatan Krian. diantaranya
kasus sapi glonggongan di desa Tropodo Rt 09 Rw 01 Kecamatan Krian, Kabupaten
Sidoarjo. padahal, daging sapi Glonggongan yang merebak di pasar, sangat
merugikan masyarakat.
Betapa tidak, asal mula daging Glonggong berasal
dari ternak khususnya sapi yang disembelih secara tidak wajar, beberapa jam
sebelum ternak potong disembelih, ternak diberikan minum secara paksa
sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk meningkatkan massa daging sehingga akan
meningkatkan bobot daging. Jika bobot daging meningkat, maka perolehan
keuntungan produsen dapat menjadi tinggi.
Bobot daging yang perlahan tapi pasti akan menyusut bobotnya selang beberapa jam kemudian karena airnya keluar. Konsumen juga ditipu, karena mereka mendapatkan daging yang bobotnya tidak sesuai harga sebagaimana mestinya.
Penjualan daging sapi glonggongan melanggar hukum. Konsumen sebaiknya tidak boleh terkecoh dengan adanya harga daging yang lebih murah dibandingkan dengan harga daging normal pada umumnya," ujar seorang warga yang enggan disebut namanya ini.
Saat ini, Kasus Glonggongan sapi Polsek Krian belum ada upaya pengusutan, atau tindakan tegas, padahal kasus tersebut sudah jelas merugikan masyarakat luas. dalam praktiknya, Aparat penegak hukum khususnya kepolisian wilayah hukum polsek Krian, di sini sebenarnya dituntut agar menindak tegas, dan tidak berpura pura tidak tau.
Bobot daging yang perlahan tapi pasti akan menyusut bobotnya selang beberapa jam kemudian karena airnya keluar. Konsumen juga ditipu, karena mereka mendapatkan daging yang bobotnya tidak sesuai harga sebagaimana mestinya.
Penjualan daging sapi glonggongan melanggar hukum. Konsumen sebaiknya tidak boleh terkecoh dengan adanya harga daging yang lebih murah dibandingkan dengan harga daging normal pada umumnya," ujar seorang warga yang enggan disebut namanya ini.
Saat ini, Kasus Glonggongan sapi Polsek Krian belum ada upaya pengusutan, atau tindakan tegas, padahal kasus tersebut sudah jelas merugikan masyarakat luas. dalam praktiknya, Aparat penegak hukum khususnya kepolisian wilayah hukum polsek Krian, di sini sebenarnya dituntut agar menindak tegas, dan tidak berpura pura tidak tau.
TINJAUAN YURIDIS Terhadap
Penjualan Daging Sapi Glonggongan Di Pasar Tradisional Dalam Aspek HUKUM
Perlindungan Konsumen
A. Latar Belakang
Maraknya peredaran
daging glongongan di bulan Ramadhan, terlebih saat lebaran, bukanlah hal baru,
selalu terjadi setiap tahun. Hal ini karena setiap Ramadhan, pedagang
memanfaatkan kesempatan dikala harga daging melonjak naik, di beberapa tempat,
harga daging naik menjadi Rp. 60.000,-/kg bahkan ada yang mencapai Rp.
65.000,-/kg. kenaikan harga daging terjadi sebagai akibat dari meningkatnya
permintaan daging sedangkan pasokan tidak bertambah.
Badan Ketahanan
Pangan Departemen Pertanian, persediaan daging sapi defisit akibat permintaan
daging yang melebihi kemampuan penyediaan yang hanya sebesar 54.585 ton. Di
tengah tingginya harga daging, beberapa kalangan menganggap keberadaan daging
sapi glonggongan yang dijual murah, sebagai solusi. Dari segi kesehatan, dapat
dipastikan bila daging sapi glonggongan itu akan mengganggu
kesehatan.Dikarenakan daging sapi glonggongan mudah membusuk karena telah
terkontaminasi bakteri, yang bisa menyebabkan aneka penyakit.
Yang lebih
mengkhawatirkan dari segi agama, karena Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah
mengharamkan daging sapi glonggongan diperjual belikan dikarenakan keberadaan
perdagangan ragam daging sapi glonggongan secara nyata membuka peluang bagi
konsumen untuk mengkonsumsi makanan haram.
Fatwa haram ini di
dasari oleh adanya perlakuan salah terhadap sapi yang akan dijual. Untuk
mendapatkan daging sapi glonggongan, maka sapi hidup yang akan di potong diberi
minum sebanyak satu drum air atau sekitar 100 liter, yang disalurkan melalui
selang kemulutnya.
Tindakan ini dilakukan
sampai sapi sudah tidak berdaya kemudian mati. Penyiksaan ini umumnya
berlangsung selama enam jam, setelah sapi mati baru dipotong, penyiksaan ini
bertujuan agar berat badan sapi bertambah, sehingga akan menambah keuntungan,
selain itu juga didasari oleh adanya unsur penipuan dalam penjualan.
Tindakan tegas, itulah
yang menjadi kata kunci dalam menghentikan peredaran daging sapi glonggongan.
Semestinya, begitu ditemukan penjualan daging sapi glonggongan maka semua mata
rantai penjualan barang haram itu harus dikenai sanksi. Tidak harus menunggu
mereka melakukannya berulang kali, yang akan semakin merugikan konsumen. Karena
posisis konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu
sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (Pengayoman)
kepada masyarakat.
Jadi, sebenarnya hukum
konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit
dipisahkan dan ditarik batasnya. Selain itu diperlukan kesediaan semua pihak
untuk mencegah agar tidak membanjirnya daging sapi glonggongan didalam
masyarakat. Ironinya, justru hal inilah yang belum dilakukan oleh aparat
Pemerintah.
Selama ini Pemerintah
belum bertindak tegas terhadap para pedagang yang menjual daging sapi
glonggongan. paling-paling hanya diberi teguran, penyuluhan dan pembinaan.
Padahal, sudah ada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan
konsumen pada Pasal 4(c) diungkapkan bila menjadi hak konsumen untuk mengetahui
informasi kualitas produk secara jujur di Pasal 8 dan 9 diulas
perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Bahkan di Pasal 62,
dijelaskan bila pelaku usaha yang melanggar bisa dikenai pidana denda hingga 2
milyar rupiah serta sanksi pidana kurungan paling lama 5 tahun.
Pemerintah juga bisa
mengacu pada Undang-undang No.6 Tahun 1967 tentang pokok kesehatan. Yang pasti,
pada pelaku perdagangan daging bermasalah bisa dikenakan PasalPasal pidana
yang diatur dalam Kitab Hukum Undang-undang Pidana (KUHP), khususnya dengan Pasal
pidana penipuan. Apalagi saat ini sudah banyak Pemerintah Daerah yang mempunyai
peraturan daerah (Perda) terkait perdagangan daging bermasalah. Kota Semarang
misalnya mempunyai Perda No. 6/2007 tentang Kesehatan Hewan dan Kesehatan
Veteriner. Di Peraturan daerah tersebut pedagang daging bermasalah diancam
hukuman denda maksimal Rp. 5.000.000,- dan penjara selama lima tahun. Di Kab.
Bantul ada Perda No.9 tahun 2000.
Langkah tegas Pemerintah harus di ikuti
dengan kemauan untuk melakukan koordinasi antar kota/kabupaten, karena bisa
jadi daging bermasalah tersebut berasal dari luar daerahnya. Koordinasi juga
harus dilakukan antara aparat Kepolisian, Dinas Perdagangan, Dinas Peternakan,
Dinas Kesehatan, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Pemerintah harus sering
mengadakan pengawasan secara rutin, tidak hanya menjelang dan saat bulan
Ramadhan, juga tidak harus menunggu adanya pengaduan dari masyarakat. Ditambah
lagi pengawasan harus dimulai dari Rumah Pemotongan Hewan/ RUMAH POTONG HEWAN
(RPH), baik yang dikelola pemeritah maupun swasta hingga ke pedagang di pasar.
Selain itu, pemerintah
harus gencar menyosialisasikan kepada konsumen akan ciri-ciri dari daging
bermasalah, baik di media massa maupun dengan menempelkan selebaran di
pasar-pasar. Konsumen juga harus hati-hati dan jeli saat membeli daging,
dikarenakan daging glongongan yang beredar di masyarakat pada saat ini sangat
banyak dan sangat sulit untuk dibedakan dengan daging aslinya baik dari segi
aroma, warna, maupun bentuk seratnya selain itu partisipasi masyarakat juga
sangat diperlukan apabila mengetahui ada pedagang yang menjual daging dibawah
harga normal, patut diduga telah menjual daging sapi glonggongan, sehingga
harus segera dilaporkan kepihak berwenang. (Pria Sakti).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar