Minggu, 14 September 2014

Kasus Sapi Glonggongan, Kapolsek Krian Lakukan Pembiaran

SIDOARJO, www.jejakkasus.info - Beberapa kasus yang sedang marak di Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, agaknya dibiarkan begitu saja oleh aparat penegak hukum setempat. Kepala Polsek (Kapolsek) Krian, seolah cuek serta lakukan pembiaran terhadap kasus yang merugikan masyarakat, Hasil investigasi Jejak Kasus mendapati setidaknya ada dua kasus yang sedang marak di kecamatan Krian. diantaranya kasus sapi glonggongan di desa Tropodo Rt 09 Rw 01 Kecamatan Krian, Kabupaten Sidoarjo. padahal, daging sapi Glonggongan yang merebak di pasar, sangat merugikan masyarakat.

Betapa tidak, asal mula daging Glonggong berasal dari ternak khususnya sapi yang disembelih secara tidak wajar, beberapa jam sebelum ternak potong disembelih, ternak diberikan minum secara paksa sebanyak-banyaknya dengan tujuan untuk meningkatkan massa daging sehingga akan meningkatkan bobot daging. Jika bobot daging meningkat, maka perolehan keuntungan produsen dapat menjadi tinggi.

Bobot daging yang perlahan tapi pasti akan menyusut bobotnya selang beberapa jam kemudian karena airnya keluar. Konsumen juga ditipu, karena mereka mendapatkan daging yang bobotnya tidak sesuai harga sebagaimana mestinya. 
Penjualan daging sapi glonggongan melanggar hukum. Konsumen sebaiknya tidak boleh terkecoh dengan adanya harga daging yang lebih murah dibandingkan dengan harga daging normal pada umumnya," ujar seorang warga yang enggan disebut namanya ini.

Saat ini, Kasus Glonggongan sapi Polsek Krian belum ada upaya pengusutan, atau tindakan tegas, padahal kasus tersebut sudah jelas merugikan masyarakat luas.
dalam praktiknya, Aparat penegak hukum khususnya kepolisian wilayah hukum polsek Krian, di sini sebenarnya dituntut agar menindak tegas, dan tidak berpura pura tidak tau. 

TINJAUAN YURIDIS Terhadap Penjualan Daging Sapi Glonggongan Di Pasar Tradisional Dalam Aspek HUKUM Perlindungan Konsumen

A. Latar Belakang 
Maraknya peredaran daging glongongan di bulan Ramadhan, terlebih saat lebaran, bukanlah hal baru, selalu terjadi setiap tahun. Hal ini karena setiap Ramadhan, pedagang memanfaatkan kesempatan dikala harga daging melonjak naik, di beberapa tempat, harga daging naik menjadi Rp. 60.000,-/kg bahkan ada yang mencapai Rp. 65.000,-/kg. kenaikan harga daging terjadi sebagai akibat dari meningkatnya permintaan daging sedangkan pasokan tidak bertambah. 

Badan Ketahanan Pangan Departemen Pertanian, persediaan daging sapi defisit akibat permintaan daging yang melebihi kemampuan penyediaan yang hanya sebesar 54.585 ton. Di tengah tingginya harga daging, beberapa kalangan menganggap keberadaan daging sapi glonggongan yang dijual murah, sebagai solusi. Dari segi kesehatan, dapat dipastikan bila daging sapi glonggongan itu akan mengganggu kesehatan.Dikarenakan daging sapi glonggongan mudah membusuk karena telah terkontaminasi bakteri, yang bisa menyebabkan aneka penyakit.

Yang lebih mengkhawatirkan dari segi agama, karena Majelis Ulama Indonesia (MUI) sudah mengharamkan daging sapi glonggongan diperjual belikan dikarenakan keberadaan perdagangan ragam daging sapi glonggongan secara nyata membuka peluang bagi konsumen untuk mengkonsumsi makanan haram.
Fatwa haram ini di dasari oleh adanya perlakuan salah terhadap sapi yang akan dijual. Untuk mendapatkan daging sapi glonggongan, maka sapi hidup yang akan di potong diberi minum sebanyak satu drum air atau sekitar 100 liter, yang disalurkan melalui selang kemulutnya.

Tindakan ini dilakukan sampai sapi sudah tidak berdaya kemudian mati. Penyiksaan ini umumnya berlangsung selama enam jam, setelah sapi mati baru dipotong, penyiksaan ini bertujuan agar berat badan sapi bertambah, sehingga akan menambah keuntungan, selain itu juga didasari oleh adanya unsur penipuan dalam penjualan. 

Tindakan tegas, itulah yang menjadi kata kunci dalam menghentikan peredaran daging sapi glonggongan. Semestinya, begitu ditemukan penjualan daging sapi glonggongan maka semua mata rantai penjualan barang haram itu harus dikenai sanksi. Tidak harus menunggu mereka melakukannya berulang kali, yang akan semakin merugikan konsumen. Karena posisis konsumen yang lemah maka ia harus dilindungi oleh hukum. Salah satu sifat, sekaligus tujuan hukum itu adalah memberikan perlindungan (Pengayoman) kepada masyarakat.

Jadi, sebenarnya hukum konsumen dan hukum perlindungan konsumen adalah dua bidang hukum yang sulit dipisahkan dan ditarik batasnya. Selain itu diperlukan kesediaan semua pihak untuk mencegah agar tidak membanjirnya daging sapi glonggongan didalam masyarakat. Ironinya, justru hal inilah yang belum dilakukan oleh aparat Pemerintah.

Selama ini Pemerintah belum bertindak tegas terhadap para pedagang yang menjual daging sapi glonggongan. paling-paling hanya diberi teguran, penyuluhan dan pembinaan. Padahal, sudah ada Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang perlindungan konsumen pada Pasal 4(c) diungkapkan bila menjadi hak konsumen untuk mengetahui informasi kualitas produk secara jujur di Pasal 8 dan 9 diulas perbuatan-perbuatan yang dilarang bagi pelaku usaha. Bahkan di Pasal 62, dijelaskan bila pelaku usaha yang melanggar bisa dikenai pidana denda hingga 2 milyar rupiah serta sanksi pidana kurungan paling lama 5 tahun.

Pemerintah juga bisa mengacu pada Undang-undang No.6 Tahun 1967 tentang pokok kesehatan. Yang pasti, pada pelaku perdagangan daging bermasalah bisa dikenakan Pasal­Pasal pidana yang diatur dalam Kitab Hukum Undang-undang Pidana (KUHP), khususnya dengan Pasal pidana penipuan. Apalagi saat ini sudah banyak Pemerintah Daerah yang mempunyai peraturan daerah (Perda) terkait perdagangan daging bermasalah. Kota Semarang misalnya mempunyai Perda No. 6/2007 tentang Kesehatan Hewan dan Kesehatan Veteriner. Di Peraturan daerah tersebut pedagang daging bermasalah diancam hukuman denda maksimal Rp. 5.000.000,- dan penjara selama lima tahun. Di Kab. Bantul ada Perda No.9 tahun 2000. 

Langkah tegas Pemerintah harus di ikuti dengan kemauan untuk melakukan koordinasi antar kota/kabupaten, karena bisa jadi daging bermasalah tersebut berasal dari luar daerahnya. Koordinasi juga harus dilakukan antara aparat Kepolisian, Dinas Perdagangan, Dinas Peternakan, Dinas Kesehatan, Departemen Agama dan Majelis Ulama Indonesia (MUI).

Pemerintah harus sering mengadakan pengawasan secara rutin, tidak hanya menjelang dan saat bulan Ramadhan, juga tidak harus menunggu adanya pengaduan dari masyarakat. Ditambah lagi pengawasan harus dimulai dari Rumah Pemotongan Hewan/ RUMAH POTONG HEWAN (RPH), baik yang dikelola pemeritah maupun swasta hingga ke pedagang di pasar.

Selain itu, pemerintah harus gencar menyosialisasikan kepada konsumen akan ciri-ciri dari daging bermasalah, baik di media massa maupun dengan menempelkan selebaran di pasar-pasar. Konsumen juga harus hati-hati dan jeli saat membeli daging, dikarenakan daging glongongan yang beredar di masyarakat pada saat ini sangat banyak dan sangat sulit untuk dibedakan dengan daging aslinya baik dari segi aroma, warna, maupun bentuk seratnya selain itu partisipasi masyarakat juga sangat diperlukan apabila mengetahui ada pedagang yang menjual daging dibawah harga normal, patut diduga telah menjual daging sapi glonggongan, sehingga harus segera dilaporkan kepihak berwenang. (Pria Sakti).

Tidak ada komentar: