Senin, 08 September 2014
Minyak Goreng Oplosan dengan Ancaman Pidananya
MARAKNYA pengusaha nakal yang melakukan penyulingan minyak goreng bekas setelah dimasak/disuling dan dijual bebas di pasaran, sebenarnya melanggar ketentuan pasal 62 Undang-undang No 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
Dalam UU Perlindungan Konsumen itu, telah diatur tentang pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh pelaku usaha diantaranya sebagai berikut : 1) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 2.000.000.000 (dua miliar rupiah) terhadap; pelaku usaha yang memproduksi atau memperdagangkan barang yang tidak sesuai dengan berat, jumlah, ukuran, takaran, jaminan, keistimewaan, kemanjuran, komposisi, mutu sebagaimana yang dinyatakan dalam label atau keterangan tentang barang tersebut (pasal 8 ayat 1), pelaku usaha yang tidak mencantumkan tanggal kadaluwarsa (pasal 8 ayat 1), memperdagangkan barang rusak, cacat, atau tercemar (pasal 8 ayat 2), pelaku usaha yang mencantumkan klausula baku bahwa pelaku usaha berhak menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen di dalam dokumen dan/atau perjanjian. (pasal 18 ayat 1 huruf b)
2) Dihukum dengan pidana penjara paling lama 2 (dua) tahun atau pidana denda paling banyak Rp 500.000.000 (lima ratus juta rupiah) terhadap; pelaku usaha yang melakukan penjualan secara obral dengan mengelabuhi / menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang sebelum melakukan obral, pelaku usaha yang menawarkan barang melalui pesanan yang tidak menepati pesanan atau waktu yang telah diperjanjikan, pelaku usaha periklanan yang memproduksi iklan yang tidak memuat informasi mengenai resiko pemakaian barang/jasa.
Dari ketentuan-ketentuan pidana yang disebutkan diatas yang sering dilanggar oleh para pelaku usaha masih ada lagi bentuk pelanggaran lain yang sering dilakukan oleh pelaku usaha, yaitu pencantuman kalusula baku tentang hak pelaku usaha untuk menolak penyerahan kembali barang yang dibeli konsumen dalam setiap nota pembelian barang. Klausula baku tersebut biasanya dalam praktiknya sering ditulis dalam nota pembelian dengan kalimat “Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan” dan pencantuman klausula baku tersebut selain bisa dikenai pidana, selama 5 (lma) tahun penjara, pencantuman klausula tersebut secara hukum tidak ada gunanya karena di dalam pasal 18 ayat (3) UU No 8 tahun 1999 dinyatakan bahwa klausula baku yang masuk dalam kualifikasi seperti, "Barang yang sudah dibeli tidak dapat ditukar atau dikembalikan" otomatis batal demi hukum.
Namun dalam praktiknya, masih banyak para pelaku usaha yang mencantumkan klausula tersebut, disini peran polisi ekonomi dituntut agar menertibkannya. Disamping pencantuman klausula baku tersebut, ketentuan yang sering dilanggar adalah tentang cara penjualan dengan cara obral supaya barang kelihatan murah, padahal harga barang tersebut sebelumnya sudah dinaikkan terlebih dahulu. Hal tersebut jelas bertentangan dengan ketentuan pasal 11 huruf f UU No 8 tahun 1999 dimana pelaku usaha ini dapat diancam pidana paling lama 2 (dua) tahun penjara dan/atau denda paling banyak Rp 500 juta.
Dalam kenyataannya aparat penegak hukum yang berwenang seakan tidak tahu atau pura-pura tidak tahu bahwa dalam dunia perdagangan atau dunia pasar terlalu banyak sebenarnya para pelaku usaha yang jelas-jelas telah melanggar UU Perlindungan Konsumen yang merugikan kepentingan konsumen. Bahwa masalah perlindungan konsumen sebenarnya bukan hanya menjadi urusan YLKI atau lembaga/instansi sejenis dengan itu, berdasarkan pasal 45 ayat (3) Jo. pasal 59 ayat (1) UU Perlindungan Konsumen tanggung jawab pidana bagi pelanggarnya tetap dapat dijalankan atau diproses oleh pihak Kepolisian.
Selain melanggar ketentuan pasal 62 Undang-undang No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, minyak goreng bekas tersebut adalah Limbah B3 .
Adapun ketentuan pelanggaran baku mutu lingkungan hidup dan ketentuan pidananya, yakni; Setiap orang yang dengan sengaja melakukan perbuatan yang mengakibatkan dilampauinya baku mutu udara ambien, baku mutu air, baku mutu air laut, atau kriteria baku kerusakan lingkungan hidup, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling sedikit Rp. 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah) dan paling banyak Rp. 10.000.000.000 (sepuluh miliar rupiah).
Ketentuan tersebut diatur pada Pasal 98 ayat (1) Undang -Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Dan apabila perbuatan tersebut mengakibatkan orang luka dan/atau bahaya kesehatan manusia, diancam dipidana penjara paling singkat 4 (empat) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 4.000.000.000 (empat miliar rupiah) dan paling banyak Rp 12.000.000.000 (dua belas miliar rupiah).
Akan lebih berat lagi apabila perbuatan tersebut diatas mengakibatkan orang luka berat atau mati, diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun dan denda paling sedikit Rp 5.000.000.000 (lima miliar rupiah) dan paling banyak Rp 15.000.000.000 (lima belas miliar rupiah).
Sedangkan kelalaian terhadap hal tersebut diatas, ancaman pidananya yakni; tekait dengan "dilampauinya baku mutu" harus dilihat pada ketentuan pasal terkait Baku Mutu Lingkungan Hidup. Selanjutnya yang menjadi pertanyaan mengapa baku mutu air, baku mutu udara ambien, baku mutu air laut dan baku mutu lain sesuai dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi diatur dengan Peraturan Pemerintah dan mengapa baku mutu air limbah, baku mutu emisi, baku mutu gangguan cukup diatur dengan diatur dengan Peraturan Menteri? .
Jika dilihat kembali pada ketentuan pidana yang mengatur tentang hal tersebut, masing masing kelompok berbeda pasal yang mengatur.
Untuk baku mutu air, baku mutu udara ambien, baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan lingkungan hidup diatur pada pasal 98 dan pasal 99.
Untuk baku mutu air limbah, baku mutu emisi, baku mutu gangguan diatur pada pasal 100 ayat (1) dengan ancaman yang lebih ringan, maksimal pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 3.000.000.000 (tiga miliar rupiah), tanpa menyebutkan ancaman minimal, dan bahkan jika dilihat pada pasal berikutnya dinyatakan bahwa
"Tindak pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dikenakan apabila sanksi administratif yang telah dijatuhkan tidak dipatuhi atau pelanggaran dilakukan lebih dari satu kali."
Untuk untuk itu ada baiknya dicermati sekali lagi ketentuan tentang baku mutu lingkungan hidup. Semoga bermanfaat dan menambah wawasan tentang perlindungan konsumen.
Penanggung Jawab: Berita Hukum & Kriminal maupun Harian Jejak Kasus : Pria Sakti, Sekretariat: Jalan raya Kemantren 82, Terusan, Gedeg, Mojokerto, Jatim. ' silahkan klik di sini, www.jejakkasus.info untuk membaca berita Hukum, Penyimpangan Hukum/ APBD/ APBN, Pemalsuan DLL.
Kami sangat berterima kasih apabila menerima Kritik dan Saran, Silahkan kirim melalui Email: direskrimumjejakkasus@yahoo.com/ sms melalui: 082141523999, PT. PRIA SAKTI PERKASA No: AHU-13286.40.10.2014, NPWP.70.419.437.2-602.000. Tuwitter @BeritaJejakkasus, Pin: 29D91BEA
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar